Sabtu, 18 April 2009

KAMPUS OTORITER

Kampus atau perguruan tinggi adalah tempat berkumpulnya para komunitas intelektual. Bagian dari komunitas yang berkecimpung didalam dunia pendidikan tinggi tersebut diantaranya adalah mahasiswa. Karena itu sudah sepatutnyalah jika interaksi sosial yang berlangsung di kampus senantiasa bernuansa ilmiah, kritis dan rasional.
Apa kata dunia, Jika dizaman sekarang ini saat demokrasi dijunjung tinggi ditengah-tengah masyarakat, dan kampus yang mestinya menjadi mercusuar dalam mengembangkan kehidupan demokrasi menjadi lembaga yang mempertontonkan praktik otoriter dan tiran?
Dikenal ada tiga tipologi kepemimpinan di perguruan tinggi. Pertama, Kepemimpinan kampus Otoriter, kepemimpinan kampus Apatis dan kepemimpinan kampus yang Demokratis. Berdasarkan tiga tipe kepemimpinan kampus ini kemudian mahasiswa dan manajemen kampus dapat menganalisa, masuk dalam kategori manakah kampus kita?
Kampus yang otoriter terlihat pada pengkultusan pimpinan kampus sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Para dosen, staff dan mahasiswa tidak memiliki ruang yang cukup dan bahkan dikekang akses dan aspirasinya. Pengambilan keputusan dan kebijakan kampus tidak dikompromikan dengan mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat kampus.
Para dosen dilingkungan kampus otoriter memandang lazim menghukum mahasiswa dengan memberi nilai buruk atau memberikan nilai baik tidak berdasarkan kemampuan dan kompetensi mahasiswa. Para dosen bebas memberi skorsing tanpa toleransi dan kemanusiaan. Mereka merasa pantas dan berkuasa sekehendaknya, mereka seperti dewa dan mahasiswa mau tidak mau harus patuh dan taat kepada mereka. Mahasiswa tidak diberi ruang gerak untuk sharing dan mengkritisi. Begitupun, bagian administrasi dan keuangan boleh mengusulkan besaran biaya kuliah, praktikum dan lain-lain kepada rektorat, dengan keputusan yang tidak perlu dirasionalisasi dan dikompromikan.
Beberapa kampus menuai masalah karena tindakan rektoratnya dan iklim lingkungan kampus yang otoriter sebagaimana yang terjadi di Makasar dan di Jakarta. Mahasiswa melakukan perlawanan menentang kebijakan kampus dan iklim yang tidak sehat dikampus mereka. Akibatnya kampus otoriter kehilangan kredibilitasnya.
Sementara itu kampus demokratis adalah sebaliknya. Kampus yang membuka ruang komunikasi dan penyaluran aspirasi bagi segenap civitas akademika secara sehat dan terbuka. Kampus yang memandang setiap pendapat dan aspirasi perlu didengar dan dipertimbangkan. Kampus yang para dosennya memandang mahasiswa sebagai mitra dan sparing patner (lawan tanding) yang sehat dan sportif dalam pengembangan wacana intelektual.
Kampus yang apatis adalah kampus yang hanya berkutat dengan target-target pencapaian kurikulum, tanpa memperhatikan aspek-aspek diluar akademis. Tidak progresiff pada upaya pengembangan nalar dan naluri sosialnya. Hal itu terlihat ketika tidak adanya dukungan kampus pada aktivitas-aktivitas sosial mahasiswa baik secara individual maupun organisasi. Mahasiswa hanya dituntut menjadi seorang Tukul (Tukang Kuliah) yang menafikan kepentingan sosial . Kampus juga tidak segan-segan menskorsing dan memberi hukuman pada mahasiswa secara sepihak tanpa dasar dan alasan yang tidak rasional kepada mahasiswa yang aktif dalam kegiatan sosial dan organisasi. Padahal kegiatan sosial dan organisasi akan meningkatkan kedewasaan berpikir, peka terhadap sesama, dan pengabdian mahasiswa kepada masyarakat.
Sangat disayangkan, bila praktik otoriter terjadi pada perguruan tinggi swasta, dimana mahasiswa merupakan penyangga utama dalam operasional kampus. Mereka membayar sejumlah rupiah agar proses belajar mengajar dikampus bisa berlangsung sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, mestinya kampus swasta lebih demokratis dengan segenap civitasnya agar kredibilitas perguruan tinggi itu senantiasa baik dalam pandangan mahasiswa dan masyarakat umum. Karena kampus yang baik adalah kampus yang bisa menjadi pelayan yang baik bagi mahasiswanya, bukan mahasiswa yang harus melayani kampus.
Beberapa kampus Universitas Muhammadiyah dipulau jawa seperti di Yokyakarta dan Malang dikenal sebagai kampus favorit. Kampus tersebut berlangsung secara sehat, kredible dan demokratis. Kebijakan mengenai operasional kampus dikomunikasikan secara baik kepada mahasiswa dan orangtua wali. Ruang aspirasi, dinamika dan kreatifitas mahasiswa dapat berlangsung secara baik dan terbuka.

Harapan

Adanya niat baik pihak kampus maupun dosen untuk membuka ruang demokrasi dan mengurangi sikap indivitualis, otoriter, dan men-dewakan kepemimpinan kampus akan menjadi suatu langkah maju untuk perubahan kampus menjadi lebih baik. Keterbukaan dan komunikasi secara sehat, menyatukan setiap perbedaan sebagai suatu kekuatan dalam membangun kearah yang lebih baik, bukan malah menjadi suatu bumerang kehancuran.
Sebagai media transfer dan pengembang ilmu pengetahuan bagi para mahasiswa sepantasnya lingkungan kampus tidak terinfiltrasi kepentingan-kepentingan politik. Kampus harus independen dalam menyikapi permasalahan politik praktis. Lembaga pendidikan tinggi dimaksudkan agar tidak dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk menjadi kendaraan politik yang mengakibatkan terbangunnya perpecahan dan pengelompokan kekuatan di dalam kampus yang pada akhirnya akan mengakibatkan berantakannya penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan pengetahuan. Namun demikian tidak berarti bahwa komunitas kampus menjadi A-politis (tidak peduli pada politik).
Berlandaskan pada pandangan dan argumentasi diatas tadi kita dapat menempatkan kampus kita dalam salah satu diantara tiga tipologi tadi. Kita tentu berharap kampus STIT Muhammadyah Aceh Barat Daya menjadi lebih baik dimasa depan. Menjadi kampus yang sehat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan melahirkan kader bangsa yang berkualitas. Akan tetapi, terkadang hal-hal yang baik tidak muncul dengan sendirinya seperti datangnya sebuah hadiah dari langit, mungkin diperlukan kerja keras dan perjuangan yang sungguh-sungguh.
Billahi fi sabililhaq, Fasthabiqul khairat

(Penulis adalah Ketua Umum PD. IPM Aceh Barat Daya, Ketua PK. IMM TEN-TMA, Ketua Umum Aktivis KOMA PTM Aceh Barat Daya , Reporter Search For Common Ground/ SFCG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar